Kartini dan Pendidikan Perempuan

Foto: wikimedia

Dalam ruang sepi dan sunyi, Kartini bersahutan menjerit kalau perempuan mesti berteriak. Ketika, perempuan ditundukkan dengan pembungkaman dan keadaan sosial yang sentiasa menguntungkan laki-laki, perempuan mesti melontar suara. Luah Kartini dipersetujui. Pengalaman dan jalan yang hanya dilalui oleh perempuan haruslah diukir ceritanya oleh perempuan. Namun, dalam gelembung patriarki yang semakin membesar dan sulit sekali dipecahkan ini, teriakan perempuan acap kali dianggap berlebihan. Suara perempuan sering dituduh dibalut emosi yang tak tertahan. Lalu, siapakah yang berhak bercakap tentang perempuan?

Dalam keluh kesah Kartini tentang sayapnya yang diikat kemas lalu tubuhnya dicampakkan di dalam sangkar, ada perjuangan pendidikan perempuan yang mahu dijuangkan. Mendidih jiwa Kartini mendengar anak-anak perempuan yang diremehkan.

“Perempuan bukan apa-apa. Perempuan diciptakan untuk laki-laki, untuk kesenangannya”.

“Tidak. Kami manusia, sama seperti laki-laki. Aduh, berilah izin untuk saya membuktikannya. Lepaskan belenggu saya! Izinkan saya berbuat dan saya akan menunjukkan, bahawa saya manusia. Manusia seperti laki-laki.”

Jiwa Kartini bergelora mahu memajukan pendidikan perempuan. Orang perempuan mesti tahu serba-serbi kerana perempuanlah tonggak peradaban. Kalau manusia menjadi manusia adalah kerana perempuan. Namun, seketika usahanya ialah bebuih pantai. Berhempas datang namun tak memberi makna apa-apa. Bupati-bupati tidak mahu memecah adat melanggar hukum.  Anak perempuan tidak mungkin dilepaskan dididik di luar rumah. Anak perempuan digari lengannya bersama lengan ayah sebelum dilepaskan dan digari semula ke lengan suami.

Tetapi diamlah janganlah kita tidak adil dan dengan keras menyalahkan mereka, yang sama sekali tidak dapat menghargai maksud pemerintah yang bertujuan memajukan anak perempuan mereka sendiri. Untuk dapat menghargai, orang harus dapat mengerti dulu.

Benar kata Kartini – untuk dapat menghargai, orang harus mengerti dulu. Dan untuk mengerti, mesti diberikan sepenuhnya pendidikan. Dalam keterbatasan Kartini dek kebebasan, Kartini ialah perempuan jawa yang beruntung. Bahasa Belandanya bagus sehingga tercerahlah fikir anak gadis ini. Keterbukaan bapa membawa Kartini ke satu ruang yang berbeza ketimbang anak perempuan jawa yang lainnya. Kartini berkebolehan menulis sehingga berutus suratlah dengan yang lainnya. Kartini cerdas fikir hingga tersiarlah karyanya di akhbar-akhbar. Namun, Kartini ialah merak yang dihalang mengembang sayap. Diikat dan tak dilepaskan.

Perempuan tidak boleh tidak mesti dibenarkan mandiri secara ekonomi. Kartini tidak berkompromi dalam hal ini. Perempuan mesti dididik, diajarkan ilmu mandiri sesuai dengan keperluan untuk hidup. Kartini sepenuhnya beriman kalau penglibatan perempuan dalam proses pembangunan tidak boleh diremehkan.

Dari masa ke masa menjadi semakin jelas bahwa kemajuan para perempuan merupakan faktor yang penting untuk membudayakan bangsa itu. Kecerdasan penduduk bumiputra tidak akan terjadi dengan cepat bila perempuan ketinggalan dalam bidang itu. Perempuan ialah pendukung peradaban!

Didiklah perempuan Jawa, cerdaskan menurut perasaan dan fikiran. Dengan demikian, tuan sekalian akan dapat teman bekerja yang tangkas dan cekap untuk melaksanakan kerja raksasa yang mulia dan indah, iaitu membuat suatu bangsa beradab dan bangkit!

Lembaran demi lembaran surat Kartini ditulis menyatakan aspirasinya bahawa perempuan mesti boleh berdikari sendiri dan bebas. Penulis teringat akan tulisan Wollstonecraft dalam A Vindication of the Rights of Women – perempuan sudah ‘diprogramkan’ sebagai lemah. Dianggap tidak berguna kepada peradaban masyarakat. Senada dengan Wollstonecraft, Kartini juga menolak. Menurutnya, perempuan pasti boleh berdikari dan menyumbang sepenuhnya kepada peradaban. Yang membunuh perempuan ialah adat. Cuma satu cara menghidupkan semula orang perempuan – melanggar hukum, menolak adat. Dan adat yang ingin benar dihapus Kartini ialah mengurung anak perempuan di dalam rumah sehingga hadir laki-laki menyunting pingitan.  

Kartini berteriak lagi kalau perempuan mesti dilepas bebas, dididik dan diberikan pendidikan. Orang perempuan ialah ibu dan ibulah yang akan mendidik anak bangsa.

Sebagai ibu, dialah pendidik pertama umat manusia. Di pangkuannya anak pertama-tama belajar merasa, berfikir dan berbicara. Dan dalam banyak hal pendidikan yang pertama-tama ini bukan tanpa erti untuk seluruh hidupnya. Tangan ibulah yang pertama-tama meletakkan benih kebaikan dan kejahatan sepanjang hidupnya. Bukan tanpa alasan orang menyatakan kalau kebaikan dan kehatan diminum bersam susu ibu.

Sebegitu dalam keyakinan Kartini kalau perempuan Jawa mesti diberikan pendidikan. Secukupnya dan semaksimum mungkin. Kata Kartini, mengerti akan membuat orang berfikir, memberi ampun dan membuat kita lebih baik. Sebegitu yakin Kartini kalau pendidikanlah yang sebetulnya memerdekakan perempuan. Perempuan bukan sekadar hidup, menjadi anak, menjadi isteri, menjadi ibu kemudian mati. Perempuan juga turut serta secara total dalam pembangunan peradaban. Dan sudah pasti ia bermula dengan pendidikan perempuan.

Kartini, hari ini perempuan sudah tak lagi dinafikan hak dalam pendidikan. Namun, banyak hal tentang perempuan hari ini yang belum pun selesai. Kalau dahulu, perempuan belum bebas dari dikurung dan ditundukkan, hari ini – masih lagi mahu ditentu-tentukan dan dipaksa-paksakan. Lalu, kami masih perlu berteriak, bukan?

Oleh Farahin W

Leave a comment

Design a site like this with WordPress.com
Get started